Petualangan Epik Mencuci Piring Setelah Lebaran: Kisah Seorang Pejuang Spons
Prolog: Di Balik Setiap Piring, Ada Trauma
Lebaran adalah waktu yang indah.
Keluarga berkumpul, makanan melimpah, tawa di mana-mana.
Tapi setelah tawa... datang bencana.
Tepatnya: tumpukan piring tinggi seperti Candi Borobudur.
Saya adalah si anak bungsu.
Alias: yang otomatis dapat warisan tugas mencuci piring.
Dan inilah kisah epik saya dalam pertempuran yang tidak pernah saya daftar sebelumnya.
---
Bab 1: Detik-Detik Menuju Kematangan Mental
Hari itu cerah. Burung berkicau.
Saya sedang menikmati opor ayam ketiga saya, sambil main Uno.
Tiba-tiba…
“Dek, habis makan cuci piring ya.”
Kalimat itu terdengar biasa. Tapi bagi saya, itu seperti panggilan wajib militer.
Saya mengangguk pelan.
Air mata hampir jatuh ke sambal goreng ati.
---
Bab 2: Penampakan Gunung Piring
Saya masuk dapur.
Pemandangan di depan saya mengalahkan film bencana alam.
Tumpukan piring tinggi tak seimbang.
Gelas-gelas menara Pisa di ujung meja.
Sendok dan garpu membentuk semacam logam jigsaw yang saling menjepit.
Dan wajan... wajan seperti bekas perang dunia.
Saya menatapnya lama.
Spons cuci piring di tangan terasa terlalu kecil…
…seperti pedang mainan melawan Godzilla.
---
Bab 3: Persiapan Perang
Saya menghela napas dan mulai ritual prapencucian.
Lengan baju digulung.
Headset dipasang. Playlist: “Lagu Galau Biar Lebih Berasa.”
Sarung tangan dicari. Tidak ketemu.
Solusi: Pakai plastik kresek.
Sabun cuci piring dipastikan cukup.
(Spoiler: Tidak cukup. Saya pakai sabun cuci tangan campur shampoo.)
---
Bab 4: Serangan Pertama – Piring Opor
Piring-piring berminyak adalah musuh bebuyutan.
Mereka seperti lapisan dosa.
Semakin digosok, semakin lengket.
Saya cuci piring pertama... licin.
Piring kedua... masih ada kuah.
Piring ketiga... ada ceker ayam nyangkut.
Saya panik dan teriak. Kakak saya tertawa dari ruang tamu.
Saya mulai menyadari… ini bukan sekadar cuci piring. Ini perjalanan spiritual.
---
Bab 5: Tragedi Sendok Hilang
Di tengah pertarungan, saya kehilangan satu sendok.
Saya cari di baskom cucian, di ember sabun, di balik piring.
Ternyata dia tenggelam di dalam wajan penuh lemak.
Saya tarik keluar dengan sumpit, seperti arkeolog menemukan fosil.
Saya angkat, cuci, lalu tatap dengan sedih sambil berkata:
> “Maaf, saya sudah membuatmu terluka terlalu lama…”
---
Bab 6: Munculnya Lawan Baru – Gelas Berminyak
Kenapa gelas bisa berminyak?
Bukankah gelas hanya untuk teh manis?
Tapi setelah Lebaran, mereka seperti ikut masuk ke rendang.
Saya cuci satu gelas, tangan tergelincir…
PLAK. Pecah.
Saya berdiri diam selama 3 menit, merenungi hidup.
Ibu masuk dan berkata:
> “Gelas itu gelas kawinan Tante Ani dari tahun 1998…”
Saya merasa bersalah seperti habis nabrak unicorn.
---
Bab 7: Lembah Wajan dan Dataran Loyang
Piring selesai. Gelas kelar.
Tapi petualangan belum berakhir.
Kini tibalah Wajan dan Loyang.
Wajan penuh kerak sambal kering seperti sabuk lava.
Loyang seperti baru dipakai membakar meteor.
Saya cuci wajan pakai sendok, lalu pakai sikat, lalu akhirnya… pakai doa.
Saya rendam loyang selama 30 menit.
Hasilnya: kerak tetap ada, tapi perasaan saya lebih tenang.
---
Bab 8: Sisi Lain Spons Cuci Piring
Kamu tahu sisi hijau spons cuci piring?
Itu adalah permukaan neraka.
Saya gosok dengan penuh dendam, tapi justru tangan saya yang luka.
Spons itu kasar seperti komentar netizen.
Tapi tanpa dia, piring tidak akan pernah bersih.
Saya mulai hormat kepada spons, seperti ke veteran perang.
---
Bab 9: Air Sabun di Lengan: Sebuah Fenomena Mistis
Kenapa saat kita mencuci piring, air sabun selalu masuk ke bagian siku lewat jalur belakang?
Air sabun naik seperti punya misi menyapa ketiak.
Saya coba teknik baru: pakai jaket plastik, pakai payung, atau berdiri mundur.
Semua gagal.
Sampai sekarang, itu tetap misteri besar umat manusia.
---
Bab 10: Akhir Pertempuran
Setelah 1,5 jam…
Saya selesai.
Piring bersih. Gelas kering. Wajan pasrah.
Saya berdiri, basah, tapi bangga.
Keluarga mulai tanya:
> “Eh, kamu udah selesai?”
“Iya.”
“Yaudah, tolong sapu halaman ya.”
Saya jatuh terduduk.
---
Epilog: Cuci Piring dan Eksistensi
Cuci piring bukan sekadar pekerjaan rumah.
Dia adalah meditasi.
Dia mengajarkan kesabaran, penderitaan, dan keberanian.
Dia membentuk karakter.
Menghapus ego.
Dan menanamkan dalam diri kita satu nilai penting:
> “Kalau habis makan, langsung cuci piring sendiri lah!”
---
Dari seorang pejuang spons,
yang kini mengerti bahwa piring kotor bukanlah musuh…
…tapi ujian kesabaran dalam hidup.