Panduan Bertahan Hidup di Rumah Sendiri Saat Listrik Mati dan Otak Ikut Padam
(Manual tidak resmi untuk manusia modern yang panik tanpa WiFi)
Prolog: Mati Lampu, Mati Gaya
Malam itu saya sedang rebahan. Tangan kanan pegang HP, tangan kiri pegang camilan, hati pegang harapan agar hidup lebih baik. Tiba-tiba… PLUP. Listrik mati. Seketika ruangan jadi gelap gulita, HP kehilangan sinyal, dan hati kehilangan arah.
Saya mendadak merasa seperti manusia purba. Bedanya, manusia purba gak panik karena Netflix ke-pause dan kulkas berhenti bernafas.
Berikut adalah hasil riset empiris dari malam kelabu itu — sebuah panduan bertahan hidup saat listrik padam, disusun oleh manusia yang panik tapi berusaha tetap lucu.
---
1. Jangan Panik (Tapi Panik Sikit Gak Apa)
Langkah pertama: tarik napas. Dalam. Sekali lagi. Jangan langsung buka jendela dan teriak “KIAMAT!” meskipun itu menggoda.
Listrik mati bukan akhir dunia. Setidaknya belum. Coba pegang benda di dekatmu: kalau itu bukan zombie atau cicak jumbo, kamu masih aman.
Tips: jangan langsung buka HP untuk update IG Story. Kamu butuh baterai untuk senter, bukan buat filter AR kuping kucing.
---
2. Temukan Sumber Cahaya (Yang Tidak Membuatmu Makin Depresi)
Kalau kamu seperti saya, maka senter satu-satunya ada di HP, dan lilin cuma muncul pas ulang tahun. Alternatifnya:
Layar laptop: masih menyala? Selamat, kamu punya cahaya lembut untuk 30 menit berikutnya.
Kulkas: jangan dibuka, tapi kadang lampunya nyala sebentar. Bisa jadi harapan palsu.
Lampu emergency: ya kalo punya. Saya? Punya. Tapi entah di mana. Kemungkinan sudah pindah kontrakan duluan.
Pada akhirnya saya pakai HP dengan tingkat kecerahan maksimal. Tapi 15 menit kemudian, HP tinggal 3%. Saya jadi manusia goa dengan emosi rentan.
---
3. Nikmati Kesunyian (Kalau Kamu Tidak Takut Pikiran Sendiri)
Tanpa listrik, suara dunia mendadak hilang. Tidak ada TV, tidak ada kipas, tidak ada orang teriak di TikTok.
Awalnya hening itu menenangkan. Tapi lima menit kemudian, saya mulai mendengar suara hati sendiri:
> “Kamu ngapain sih hidup kayak gini?”
“Ingat utang Shopee PayLater!”
“Kenapa kamu belum jadi orang kaya?”
Saya coba alihkan dengan menyanyi. Tapi suara sendiri ternyata lebih menyakitkan daripada suara hati.
---
4. Berinteraksi dengan Manusia Sekitar (Konsep Aneh di 2025)
Dalam kondisi darurat, kita bisa memanfaatkan makhluk bernama tetangga. Mereka biasanya manusia juga, tinggal di rumah sebelah.
Saya akhirnya keluar rumah. Gelap. Senyap. Ternyata ada dua tetangga di luar, duduk depan rumah, seperti warga desa di film horor lokal.
Saya ikut duduk. Kami bertiga menatap langit tanpa berkata-kata. Karena kami bingung… udah lupa cara ngobrol tanpa emoji.
Akhirnya satu dari kami berkata pelan:
> “Mati lampu ya?”
Kami mengangguk bersama. Sebuah ikatan suci terbentuk malam itu. Terima kasih PLN, kamu berhasil menyatukan umat.
---
5. Temukan Aktivitas Zaman Batu (Atau Zaman Sebelum WiFi)
Mau ngapain? Ini beberapa opsi yang bisa dicoba (kalau kamu berani):
Baca buku fisik. Ya, buku itu benda kotak dengan huruf-huruf di dalamnya. Enggak bisa di-scroll.
Main tebak bayangan pakai lilin. Tapi jangan bikin bentuk mantan. Bisa nangis sendiri.
Ngobrol dengan diri sendiri. Tapi jangan terlalu akrab. Nanti kamu malah pacaran sama bayangan.
Gambar pakai pensil. Ingat rasanya nulis? Nggak? Ya udah, skip.
Saya akhirnya main batu-batu kecil di depan rumah sambil pura-pura jadi pendeta Zen. Peace level: 9%.
---
6. Jangan Buka Kulkas Terlalu Sering
Godaan terbesar adalah buka kulkas setiap lima menit untuk lihat “masih dingin gak ya?” atau “mungkin sekarang udah ada keajaiban?”
Ingat: kulkas itu penyimpan harapan dingin. Tapi saat listrik mati, dia butuh kamu juga. Jadi jangan buka-buka dia terus kayak mantan yang kamu cek statusnya tiap hari.
Kalau isi kulkas kamu penuh, selamat. Kamu punya logistik survival. Kalau kosong? Sama. Kita peluk virtual dulu.
---
7. Saat Otak Padam Bersama Listrik
Hal tersulit adalah saat listrik mati, otak juga ikutan mati gaya. Mau mikir kerjaan: gak bisa. Mau produktif: males. Mau tidur: kepanasan.
Saya akhirnya menyadari, dalam kegelapan, kita gak cuma butuh cahaya... kita butuh arah.
Tapi saya terlalu malas mikir arah hidup. Jadi saya tiduran aja. Sambil mikir:
> “Besok kalau listrik nyala, saya mau berubah jadi orang baru.”
Tapi tentu saja, keesokan harinya, saya tetap jadi orang lama… cuma agak bau karena kipas gak nyala semalaman.
---
Epilog: Terima Kasih PLN, Kadang Kamu Mengajarkan Filosofi Hidup
Akhirnya listrik menyala. HP saya langsung disambung ke charger seperti bayi ketemu ASI. Kipas langsung dinyalakan seperti pahlawan masuk medan perang. Dan saya... kembali ke realitas.
Tapi ada hal yang saya pelajari:
Mati lampu mengingatkan kita bahwa kita sudah terlalu bergantung pada teknologi.
Tapi juga, bahwa kita bisa... bertahan. Meski gelap, meski panik, meski HP 1%.
Dan mungkin, hanya mungkin… kita bisa lebih menghargai hal sederhana: seperti cahaya lampu, suara kipas, dan senter HP yang tidak menyerah.
---
Sampai jumpa di mati lampu berikutnya.
Karena hidup tak selalu terang. Tapi setidaknya, bisa ditertawakan.