Saya, Kompor Gas, dan Misi Menggoreng Telur yang Hampir Membakar Negara
Bab 1: Awal dari Segalanya — Perut Lapar dan Keputusan Bodoh
Pagi itu, perut saya keroncongan seperti marching band yang salah arah. Saya baru bangun tidur, mata masih setengah nempel ke bantal, tapi jiwa saya sudah berteriak, “Teluuuuur!”
Dengan semangat yang setara dengan film perang, saya melangkah ke dapur. Di sana berdiri kokoh kompor gas satu tungku yang sudah lebih senior daripada karier saya. Saya pandang dia dengan rasa hormat, seperti prajurit memandang jenderalnya sebelum masuk medan perang.
“Tenang, Bung Kompor. Hari ini kita cuma perlu menggoreng satu telur. Gak usah lebay.”
Tapi siapa sangka, misi sederhana ini bakal jadi episode paling dramatis sejak saya keliru menyangka odol itu krim wajah.
Bab 2: Pertempuran Dimulai
Saya tuang minyak goreng ke wajan. Suaranya mendesah seperti kisah cinta yang belum sempat terjadi. Saya nyalakan api. Lalu saya pecahkan telur — prak! — dan sukses, kuningnya utuh! Sungguh pencapaian!
Namun lima detik kemudian, saya mulai merasa ada yang janggal. Api kompor kok makin besar ya? Lalu muncul suara "ffffsssrrrrrrshhh" yang tidak biasa. Saya menengok ke arah tabung gas.
BOOM! (eh, bukan meledak sungguhan sih, tapi semacam suara “psssssss” menyeramkan dari regulator).
Saya panik. Telur masih di wajan, tapi saya lari seperti peserta lomba lari estafet yang bawa api obor olimpiade. Saya pegang handuk, kipas-kipas regulator, seolah-olah kipas bisa menyelesaikan semuanya. Otak saya: Gue harus matiin ini! Tapi gimana? Tapi takut! Tapi harus! Tapi...aduh gimana sih hidup ini!
Akhirnya saya tekan tombol kompor. Mati. Saya menatap telur yang sekarang sudah gosong separuh, dan seolah-olah menatap saya balik sambil berkata: “Lo gagal, Bang.”
Bab 3: Evaluasi Diri dan Filosofi Telur
Saya duduk di lantai dapur, menatap plafon, sambil merenungi hidup. Saya hanya ingin sarapan sederhana, kenapa malah nyaris mengundang pemadam kebakaran?
Ini bukan soal telur lagi. Ini tentang ketidaksiapan menghadapi kenyataan. Betapa sering kita merasa siap, lalu saat api mulai menyala, kita panik dan kipas-kipas tanpa arah?
Apakah saya terlalu cepat menyalakan api? Apakah hidup juga seperti itu? Terburu-buru, lalu gosong sebelum matang?
Saya memutuskan untuk menulis ulang hidup saya. Mulai dari beli wajan anti lengket, dan mungkin ganti regulator gas.
Bab 4: Konsultasi dengan Teman yang Sok Tahu
Saya cerita ke teman saya — sebut saja namanya Bob (karena memang namanya Bob, dan dia keberatan kalau saya ganti jadi “Rina”).
Bob bilang, “Itu salah lo sendiri, bro. Mana ada orang nggoreng telur tanpa pakai intuisi. Masak itu harus pakai hati. Lo terlalu teknis.”
Saya jawab, “Gue cuma mau sarapan, bukan bikin film masak romantis.”
Bob menyarankan saya beli air fryer. Katanya lebih aman. Saya bilang, “Gue aja beli minyak goreng nyicil, Bob.”
Bab 5: Rehabilitasi Kompor dan Telur Kedua
Beberapa hari kemudian, setelah saya meyakinkan diri bahwa saya bukan bahaya nasional, saya mencoba lagi. Kali ini dengan teknik ninja: nyalakan api sekecil mungkin, siap sedia dengan alat pemadam (a.k.a. botol air mineral), dan pandangan mata seperti penjinak bom.
Dan berhasil.
Telur matang sempurna, kuningnya meleleh indah, seperti sinetron Korea versi dapur.
Saya makan dengan khidmat. Seolah-olah setiap suapan adalah kemenangan atas ketakutan, kekonyolan, dan regulator gas.
Bab 6: Telur, Tertawa, dan Hidup yang Absurd
Akhirnya saya sadar: hidup ini seperti menggoreng telur. Terlihat mudah, tapi banyak jebakan tersembunyi. Minyak bisa muncrat, api bisa membesar, bahkan telur bisa pecah di tangan sebelum nyampe wajan.
Tapi justru di situlah lucunya hidup. Kita gak pernah tahu kapan harus tertawa, dan kadang-kadang momen paling panik adalah bahan lelucon paling lezat.
Saya masih sering gagal masak. Tapi sekarang, setiap kegagalan adalah potensi materi stand-up comedy. Dan tiap gosong punya aroma kenangan yang tak tergantikan.
---
Penutup
Jika kamu pernah gagal menggoreng telur, atau nyaris membakar rumah hanya demi sarapan, tenang. Kamu gak sendirian. Dunia ini penuh dengan orang-orang yang terlihat sukses tapi sebenarnya gak bisa bedain antara baking soda dan deterjen.
Tertawakan saja.
Dan kalau kamu lapar… ya, mungkin pesan aja via ojek online.